Gubuk Photograph

Gubuk Photograph
Photo

Jumat, 06 Juni 2008

maksud IKLAN

Sunday, May 06, 2007

APA ITU IKLAN BUATAN INDONESIA ?




Suatu hari di minggu minggu lalu saya mendapat panggilan di telpon genggam dari seorang staff ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, yang disusul dengan permintaan bahwa Menteri Sofyan Djalil ingin bertemu dengan perwakilan pekerja film iklan, tentu saja dengan kapasitas saya sebagai Ketua Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia. Dalam pertemuan yang sangat menyiksa terutama dalam kostum, karena saya harus mengganti busana jeans dan kaos t shirt sehari hari, jelas dipaparkan kebijakan Pemerintah dalam mengatur industri film iklan di Indonesia melalui mekanisme penyiaran di lembaga penyiaran. Beberapa hari kemudian kembali telpon genggam saya disibukan dengan panggilan dari teman biro iklan atau rumah produksi. Ada yang memaki maki, ada juga yang bersyukur, ada juga yang ketakukan sampai ada juga yang putus asa, Semuanya berhulu pada kebijakan Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika, No 25 /5/2007 mengenai “ Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan yang disiarkan melalui lembaga Penyiaran. Kesibukan industri film iklan menjadi senyap sesaat untuk saling mencari tahu apa dan bagaimana bentuk produk kebijakan Pemerintah tersebut. Bahkan, ada teman saya seorang sutradara asing yang tinggal dan hidup di Indonesia bertahun tahun, harus membatalkan meetingnya karena ia harus menemui saya dan mencari penjelasan lebih lanjut mengenai periuk nasinya di kemudian hari. Sementara bagi pekerja film iklan Indonesia, kebijakan ini bisa menyenangkan tetapi disisi lain sekaligus menakutkan sekaligus membunuh kalau memang kita tidak siap mengisinya.

Tiba tiba saja, saya merasa tidak begitu popular dengan adanya kebijakan ini, betapa tidak kini semua mata memandang seolah olah APFII bertanggung jawab atas keluarnya peraturan pemerintah itu. Mungkin ini memang masuk akal, karena sejak terbentuknya asosiasi pekerja fim iklan ini, issue issue mengenai tenaga kerja film asing memang menjadi remah remah tidak penting, namun disisi lain menjadi pelatuk kecemburuan sosial dalam memperebutkan kue produksi film iklan di Indonesia. Ini tidak main main, menurut data, bahwa kapitalisasi uang yang berputar tahun ini sekitar 40 trilyun, dengan asumsi 10 persen untuk biaya pembuatan film iklan, maka ada sebesar 4 trilyun setahun yang diperebutkan seluruh pelaku industri film iklan mulai dari rumah produksi, tenaga kerja baik crew maupun pemain , post production sampai audio house. Kalau mau jujur peraturan ini menjadi ‘ blessing in disguise ‘ karena semangat yang ada dalam kebijakan Pemerintah ini, bisa pararel dan sejalan dengan bagaimana memajukan sumber daya manusia Indonesia di bidang film nasional, dan film iklan pada khususnya.


Semangat menjadikan Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dalam industri film iklan,patut di acungi jempol, terlepas betapa mungkin kontroversialnya kebijakan ini. Bahwa kebijakan ini akan bersinggungan dengan sikap pandang biro iklan dan klien yang umumnya menolak itu adalah hal lain. Namun ada yang lebih menyesakan justru banyak orang di industri periklanan yang meremehkan kemampuan sumber daya manusia dalam negeri. Apa yang menjadi tolak ukurnya ? Ada yang bilang sutradara Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris, lalu bagaimana dengan sutradara cina atau Thailand yang membawa penerjemah untuk menjelaskan treatmentnya. Ada juga yang bilang teknik presentasi sutradara Indonesia sangat primitif, tentu saja tidak sebanding dengan sutradara luar yang lengkap dengan references dan data. Tetapi bagaimana juga fair kalau sutradara local hanya diberi budget 200 juta dengan permintaan referensi ala film film Holywood. Ini memang menjadi tantangan kita semua untuk lebih bekerja keras membuktikan bahwa kita BISA. Ada filsuf mengatakan membangun Roma tidak dilakukan semalam, sehingga mungkin terasa klise kalau kita mengatakan bagaimana bisa kalau kesempatan itu tidak pernah ada. Lihat saja iklan iklan promo yang semestinya menjadi jatah sutradara local tapi justru diberikan kepada sutradara illegal dari manca negara. Tentu kita teringat pada jaman krisis moneter, tiba tiba kita dipaksa mengisi kekosongan pekerja film asing yang pulang ke negaranya. Lalu bermuncul munculan sutradara , DOP, art director, produser dalam negeri yang ternyata mampu menjawab tantangan semua itu. Sebagaimana yang dikatakan Menteri Sofyan Djalil dalam pertemuan dengan APFII minggu lalu, bahwa pada akhirnya Pemerintah harus memaksa pelaku industri periklanan untuk berperan serta menumbuhkan sumber daya dalam negeri.


APFII yang tadinya dianggap sebagai organisasi anak bawang tiba tiba menjadi popular karena bisa dianggap menjadi salah satu elemen penentu sebuah iklan bisa tayang atau tidak. Lihat saja dalam lampiran Keputusan Menteri tersebut ada Surat pernyataan yang wajib dibuat oleh pihak atau biro iklan yang akan memasang iklannya di TV, dan APFII akan memberikan persetujuan dengan melihat komponen sumber daya manusia yang terlibat dalam pembuatan film iklan itu, sebelum bisa memberikan approval guna penayangan. Lebih jauh dari itu sesuai pasal 6 Bab VIII , seluruh pekerja film asing wajib mendaftar dan didata dalam Asosiasi ini untuk mendapatkan clearance bisa bekerja atau tidak di wilayah hukum Indonesia. Tentu saja ada Grace Period dimana nantinya seluruh sumber daya pembuatan film iklan di Indonesia bisa seluruhnya dikerjakan dalam negeri. Saya melihat persoalan asing atau dalam negeri ini memang menjadi mental sebagian manusia Indonesia. Mental merendahkan bangsa sendiri serta memuja muja bangsa asing. Apakah nasionalisme memang sudah tidak relevan lagi dengan semangat globalisasi , kapitalisme dan perdagangan bebas ? Padahal juga banyak yang belum tahu bahwa perdagangan bebas AFTA belum menyentuh industri jasa, termasuk jasa pembuatan film. Saya rasa ini semua berujung pada ketakutan pelaku industri periklanan bahwa pemilik produk akan meninggalkan negeri ini. Percayalah dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia, pemilik produk manapun akan dianggap bodoh dengan melupakan pemasaran produknya di negeri ini. Atau jangan jangan sinyalemen seorang sutradara Indonesia paling popular di sini benar,..ah,mereka mengutuk keputusan itu karena jatah perdiems jalan jalan keluar negeri akan berkurang..” Mudah mudahan saja ini tidak benar.. Ketika saya menulis artikel ini, saya teringat dengan Mahatma Gandhi dengan program Ahimsa atau nasionalisme Mahathir Mohammad. Setidaknya saat ini Pemerintah sudah memberikan keberpihakannya dengan bangsa Indonesia, untuk memenuhi komitmennya mensejahterakan rakyatnya, khususnya pekerja film iklan dalam negeri. Semoga saja.

Tidak ada komentar: